Agrobost Asahan

Solusi Menuju Sukses

Pengakuan Amal Ghazali.. Januari 15, 2009

Filed under: Uncategorized — agrobostasahan @ 9:15 am
Amal : Guruku Adalah Petani

 

“Belajarlah dari petani karena mereka adalah guru yang sebenarnya. Mereka tak pernah putus asa dalam kegagalan. Mereka tetap sabar ketika pupuk hilang dan mahal di musim tanam. Mereka tak pernah meyerah ketika bencana alam dan hama menyerang. Mereka tak pernah “marah” ketika harga jual gabah saat panen jatuh,” kata Amal Alghozali. Direktur PT SMS Indoputra.

Setiap tahun persoalan itu selalu datang, tetapi petani tak pernah jera untuk kembali ke sawah. Mereka tetap melakukan tanam pada saat rendeng maupun gadu, meski produksi padi tidak meningkat secara signifikan. Terbukti laju pertumbuhan konsumsi beras jauh lebih cepat dari kemampuan produksi, meskipun masih dalam posisi surplus. Akan tetapi volume surplusnya sudah semakin tipis.

Data pemerintah memperkirakan, tahun 2006 ini produksi gabah mencapai 54 juta ton lebih atau setara beras sekitar 33 juta ton. Sementara volume konsumsi sudah mencapai sekitar 31 juta ton beras.

Tipisnya selisih antara stok dan produksi inilah yang memaksa pemerintah membuka keran impor beras. Alasannya, selain stok di dalam negeri tidak banyak, juga harganya sudah terlalu tinggi. Perum Bulog tidak berani membeli beras petani.

Usut punya usut salah satu penyebabnya adalah kekurangan pupuk, meskipun hampir seluruh wilayah Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi Selatan adalah sentra produksi gabah. Namun, karena pupuk kimia kurang panenpun tidak optimal.

Selalu ada berkah

Kegelisahan Amal semakin kuat ketika persoalan pupuk terus mengemuka. Bahkan, dari media massa televisi maupun koran terekam tindakan petani yang mengamuk, menjarah, dan merusak gudang pupuk di daerah Blora dan Cepu, Jawa Tengah. Dirinya bisa memahami kenapa mereka senekat itu karena bagi mereka ini soal hidup dan mati. Saya tahu itu karena dari kecil, kami memang hidup di lingkungan petani di Desa Rejosari, Kecamatan Kebonsari, Madiun Jawa Timur.

Tanpa ada diduga, tepatnya sekitar awal tahun 1999 Amal bertemu dengan Dr Lukman Gunarto, seorang peneliti senior yang pernah lama bekerja sebagai peneliti di International Rice Research Institute di Filipina. Bahkan, lelaki kelahiran Serengat, Blitar, Jawa Timur ini, juga seorang peneliti di Jepang.

Amal pun tertarik dengan berbagai gagasannya untuk mengembangkan sarana produksi pertanian, tanpa harus mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk kimia.

“Saya pun berpikir untuk pindah profesi. Tetapi untuk melangkah ke sana beratnya minta ampun. Maklum sebelumnya saya ini hanyalah wartawan di Kedaulan Rakyat, lalu pindah menjadi reporter di Televisi Pendidikan Indonesia. Kalau saya ambil kesempatan itu, maka saya harus keluar dari aktivitas sebagai profesional atau dari orang gajian menjadi pemilik sendiri,” kata Amal.

Pergulatan batin pun terjadi. Di benaknya muncul berbagai pertanyaan dan gambaran menyeramkan, bagaimana jika usahanya bangkrut? Bagaimana kalau empat anaknya enggak bisa bayar sekolah? Bagaimana kalau ini? Bagaimana kalau itu?

Berbagai gambaran menakutkan itu muncul begitu saja. Amal lalu mencoba mendiskusikan masalah ini dengan Ida Sofiati, istrinya. Hasilnya, Ida pun sepakat untuk melangkah ke sana.

Singkat cerita, Amal melakukan rapat keluarga (PT SMS Indoputra adalah perusahaan keluarga. Semua keluarga adalah pemegang saham). Hasilnya mereka memutuskan setuju, namun industri kecil itu hanya akan fokus pada bisnis pupuk.

Dengan bermodalkan uang Rp 40 juta, maklum belum ada bank yang tertarik, Amal mencoba menjalankan bisnis barunya. Dalam usaha ini, dirinya tak hanya sekadar menjadi seorang direktur, tetapi juga harus menjadi pemasar. Pola hidupnya pun berubah, dari berangkat sebagai orang gajian yang keluar masuk hotel dan gedung berpendingin udara menjadi orang yang harus mencari pembeli.

Untuk itu, Amal harus keluar masuk sawah bertemu dengan petani, kantor Koperasi Unit Desa, toko peralatan pertanian, kelompok tani. Semua itu dia lakukan karena petani adalah konsumen utamanya.

“Saya harus lebih sabar dari petani. Mereka yang kerapkali menghadapi situasi tidak adil masih bisa sabar, masak saya tidak. Saya masih ingat, ketika pertama kali datang ke sawah, para petani kita berikan gratis pun menolak. Namun, tim kami tak pernah bosan dan lelah, terus saja kita coba untuk mengenalkan produk yang kita beri nama pupuk biologi “Agrobost”.

Berbuah hasil

Upaya sosialisasi itu sedikit demi sedikit mulai berbuah hasil setelah melalui proses panjang yang melelahkan. Petani mulai bisa menerima pupuk cair organik tersebut. Bahkan, para bupati atau pejabat daerah yang dulunya secara terang-terangan menolak, kini mulai bersikap terbuka. Mereka mulai mau menerima teknologi itu.

Akhir tahun 2004, petani tambak dari Jawa Tengah yang menggunakan teknologi ini berhasil mendapatkan penghargaan terbaik dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kategori budidaya dan teknologi ramah lingkungan.

Misi kami jelas, meningkatkan kesejahteraan petani, dengan cara menekan biaya produksi dan mengatrol hasil panen. Tidaklah mungkin Indonesia memperluas lahan pertanian, karena biayanya sangat mahal, dan masalahnya sangat kompleks. Kita masih ingat, betapa program sejuta hektar di lahan gambut yg dilaksanakan Presiden Soeharto gagal.

Satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi, haruslah dengan perbaikan teknologi. Ternyata selama bertahun tahun ini kami berhasil secara konsisten membuktikannya. Rata-rata kenaikan hasil panen padi yang menggunakan teknologi Agrobost di atas 30 persen dibandingkan dengan cara konvensional. Di sisi biaya bisa dihemat sampai Rp 400.000 per hektar.

Bahkan pada panen raya Maret 2006, beberapa Menteri, antara lain Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Menteri Negara BUMN Sugiharto, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, Ketua Dekopin Adi Sasono, para bupati dan beberapa gubernur hadir menyaksikan panen raya di Subang, Jawa Barat.

Pabrik kami yang dulu hanya berkapasitas 4.000 liter, kini sudah mampu memproduksi 200.000 liter per bulan. Saat ini kami sedang menyelesaikan pembangunan fasilitas produksi dengan kapasitas 9,6 juta liter di atas lahan seluas 1,8 hektar di Tangerang, Banten.

Insya Allah, tahun ini kami mencanangkan gerakan 1:10:1. Maksudnya adalah, (1) biaya produksi padi (benih, pupuk dan obat-obatan) harus di bawah Rp 1 juta per hektar. Cara konvensional, komponen itu mencapai Rp 1,6 juta per hektar.

Angka 10 artinya, hasil panen padi per hektar harus bisa mencapai 10 ton. Rata-rata nasional, produksi padi petani hanya 4,5 ton per hektar. Angka 1 yang terakhir adalah pada tahun 2009 nanti, targetnya PT SMS Indoputra harus bisa melayani 1 juta hektar persawahan padi. Dengan target itu, dipastikan Indonesia tidak akan lagi impor beras.

Kini yang membuat Amal bangga adalah, PT Pupuk Kujang dengan pupuk majemuknya NPK 30 (nitrogen), 6 (Phosphat), 8 (Kcl) secara resmi berproduksi bareng dengan Agrobost. Dengan duet produk ini, petani sama sekali tidak tergantung lagi dengan pupuk Urea, Sp-36 dan Kcl. Tetapi bukan berarti unsur itu dihilangkan, tetap ada tetapi komposisinya lebih kecil.

Duet pupuk biologi Agrobost ini sukses di berbagai daerah, seperti Lamongan Jawa Timur, dan Sumatera Selatan. Bahkan, Minggu malam kemarin (10/9), Amal mengaku, kembali menandatangani kontrak dari KUD Mina Tani Brondong dan KUD Tani Makmur Kedungpring, Lamongan Jawa Timur, memasok pupuk cair untuk kebutuhan 30.000 hektar sawah pada musim tanam rendeng.

“Saya akan membuktikan bahwa kami bisa memberikan kesejahteraan pada petani dengan pupuk organik. Kami tak akan pernah marah, menyesal, maupun putus asa, meskipun tak mendapatkan akses jalan mulus ke kekuasaan. Aku belajar kesabaran itu dari cara pandang petani selama ini.

 

Tinggalkan komentar